MAKALAH
ETIKA DAKWAH
Ditulis Dalam
Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Dakwah
Dosen Pengampu:
Hemlan Elhany, M. Pd
Disusun Oleh :
|
Nama
|
:
|
Sefi Ruswaningsih (1286312)
Irvita Arvionita
(1285792)
Devi Anggraini
(1285522)
Mely Ratna Sari
(1285962)
Yusuf Mustofa
(1286562)
|
|
Jurusan
|
:
|
Tarbiyah
|
|
Prodi
|
:
|
P B A / B / II1
|
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO
METRO LAMPUNG
2012 /2013
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh pengikut beliau
hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Etika Dakwah”.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Metro, November 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Sebagai ajakan untuk memikirkan klaim
terpenting tentang hidup dan mati, kebahagiaan atau siksa yang abadi,
kebahagiaan dunia atau kesengsaraan, kebajikan dan kejahatan, maka misi dakwah
harus dilaksanakan dengan integritas penuh pendakwah dan objek pendakwah. Bila
pihak-pihak merusak integritas ini, degan cara meminta atau menerima suap
dengan menerima keuntungan, menerapkan paksaan atau tekanan, memanfaatkan demi
tujuan bukan dijalan Allah, maka ini merpakan kejahatan besar dalam berdakwah
atau dakwah islam menjadi tidak sah. Dakwah islam itu harus dijalankan dengan
serius, melalui aturan-aturan yang benar sehingga diterima dengan komitmen yang
sama terhadap kebenaran islam. Objek dakwah harus merasa bebas dari paksaan,
ancaman, serta nila-nilai yang bersifat merusak yang cenderung untuk anarki.
Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini
da’I tidak diperintahkan menyeru islam begitu saja, ada aturan-aturan yang
telah ditetapkan. Jelas dakwah islam tidak bersifat melontarkan isu-isu yang
bersifat fanatis, memaksa, provokatif, celaan-celan yang menimbulkan
permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktiviata yang bersifat destruktif. Karena
etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan sebagai pelanggaran berat, maka
itu dakwah islam mengkhususkan penggunaannya secara persuasif.
b. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah etika dakwah itu?.
2. Apa sajakah kode etik dakwah itu?.
c. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami etika dalam berdakwah.
2. Untuk mengetahui kode etik dakwah.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Etika Dakwah
a. Pengertian Etika
b. Macam-Macam Etika Dakwah
B. Kode Etik Dakwah
a. Pengertian Kode Etik
b. Macam- Macam Kode Etik Dakwah
c. Hikmah Kode Etik Dakwah
BAB II PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ETIKA
DAKWAH
a.
Pengertian etika
Etika
berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap.
Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah
jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan. Dengan demikian etika
dilakukan oleh seorang untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan
keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi
landasan etika. [1]
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan
dan sering di kaitkan dengan perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum
dan merata. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu di
anggap baik pula oleh orang lain, tergantung pada kebiasaan yang di pakai oleh
tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian, etika berlainan dengan adat, karena adat
hanya memandang lahir, melihat tindakan yang di lakukan, sementara etika lebih
memperhatikan hati dan jiwa orang yang melakukan dengan maksud apa dilakukan.
b.
Macam-Macam Etika Dakwah
Beberapa etika dakwah yang hendaknya di
lakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut.
1. Sopan
Sopan berhubungan dengan adaan adat
dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. suatan kebiasaan
yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan di anggap tidak sopan,
tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di suatu komunitas.
Standar
atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama.
Masing-masing memiliki standar sendri, akan tetapi aturan yang berlaku umum
dapat di jadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.
Kesopanan harus kita pelihara dalam
perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang kita lahirkan di dalam dan di luar
pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus di jaga serapi mungkin, sehingga
tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Gerak-gerak yang tetap dan berulang-ulang
akan membosankan bagi penerima dakwah. Sekali-kali seorang da’i harus berlainan dalam
melakukan gerak gerik, seperti memandang ke depan, kekiri, kekanan atau kebelakang
dalam batas-batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respons dari pembicaraan
yang diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga
sebaik mungkin, tidak mencolok,
dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Yang perlu
diingat oleh da’i adalah ia bertindak sebagai mubaligh yaitu penyampaian ajaran kebenaran
islam atau, bukan sebagai peragawan atau peragawati ataupun model. Karena itu
kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus dipertimbangkan oleh da’i dalam
melakukan aktivitas dakwahnya.
Cara berpakaian dan cara berbuat
yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, tetapi masih dapat
diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda yang disebut “Flain
fleks device”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh rakyat biasa.
Umpamanya seorang da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam suatu acara
umum. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan dalam batas-batas tertentu, sehingga perhatian
kepada pakaian yang dikenakan tidak boleh lebih besar dari pada perhatian
kepada isi ceramah da’i atau mubaligh tersebut.
Tindakan dan sikap yang dilakukan
oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Pembicaraan
yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikan
keadaan yang sebenarnya. Dalam istilah propaganda hal demikian disebut “card
stancking device”, yaitu tindakan dan sikap yang dilakukan sejalan dengan
pembicaraan yang disampaikan, tidak mengada-ada
bahkan menyampaikan berita bohong ataupun memutarbalikan kenyataan.[2]
2. Jujur
Dalam
menyampaikan aktivitas dakwah, hendaklah da’i menyampaikan suatu informasi
dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Kemahiran
dalam mempergunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikan persoalan yang sebenarnya, jadi da’i harus dapat
menyampaikan sesuatu yang keluar dari lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Seorang da’i
tidak boleh berkata bohong apalagi sengaja berbohong dalam suatu tema atau
topik pembicaraan. Akibat kebohongan akan fatal akibatnya dan dapat merendahkan
reputasi dari da’i sendiri, apalagi yang disampaikan adalah ajaran-ajaran
keagamaan. Demikian pula apa yang disampaikan oleh da’i atau mubaligh dalam bentuk tulisan, tidak
kurang pentingnya memelihara kejujuran. Apalagi materi dakwah dalam bentuk
tulisan dilihat kembali berdasarkan data yang nyata. Jika ternyata fakta yang
ditulis salah, tentu akan mengakibatkan ketidak percayaan orang lain kepada
da’i tersebut, dan jika hal ini terjadi tentu akan merendahkan kredibilitas
da’i tersebut.
Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia
massa atau surat kabar, dapat terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran,
misalnya dalam:
Ø Pencorakan
berita (colorization of news).
Untuk
menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja diberitakan dalam
kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu sampai pada menyukai
pencurian tersebut. Dapat pula diselipkan didalamnya pujian, kritik, atau
cacian kepada pihak yang berwajib,
tergantung pada kalimat yang dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat
yang sama dapat pula mempunyai kesan yang berlainan bagi pembacanya, hanya karena berlainan
tempatnya, dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan
huruf tebal, diantara tanda petik dan sebagainya. Semua hal itu dapat
menimbulkan kesan yang lain disebut dengan “colorization of news”.
Ø Spekulasi
(speculation),
yaitu
tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang menguntungkan
kelompok saja, sedang berita yang daapat merugikan tidak di muat. Sebenarnya tidak semua kejadian di muat
di surat kabar, dan surat kabar tidak selalu mengambarkan kejadian yang
sebenarnya dalam arti sedetail-detailnya. Surat kabar hanya selalu memuat
kejadian-kejadian yang di anggap aktual, hangat, yang menarik perhatian karena
jarang atau tidak pernah terjadi.[3]
3.
Tidak
Menghasut
Seorang
da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya,
ia tidak boleh menghasut apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun
kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu di lakukan, yang bingung
dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Masyarakat akan
merasa bingung pendapat da’i yang mana yaang benar dan harus diikuti.
Adapun
yang perlu di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu,
ia harus menyampaikn kebenaran bukan harus menghasut. Menyampaikan kebeneran
tidak harus di smpaikan dengan menghasut atau bahkan melakukan provokasi.
Tindakan ini sebenarnya tidak cocok di lakukan oleh seorang da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih
dalam tema khilafiyah (perselisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.
Akan tetapi, jika
memang yang di sampaikan adalah masalah penegakan kebenaran secara hak, maka hendaklah da’i menyampaikan kebenaran
terssebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana
di sampaikan oleh nabi
bahwa, “sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.”
B. KODE ETIK DAKWAH
a. Pengertian kode etik dakwah
Istilah kode etik lazimnya merujuk pada
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mermuskan perilaku benar dan salah.
Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri dan pengertian kode
etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang juru dakwah.
Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik tersendiri.[4] Dan
sumber dari rambu-rambu etis bagi seorang pendakwah adalah Al-Qur’an seperti
yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
b. Macam-Macam Kode Etik Dakwah
Adapun kode etik dakwah diantaranya:
1. Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan
Para da’i hendaknya tidak memisahkan antara
ucapan dan perbuatan, dalam artian apa saja yang diperintahkan kepada mad’u,
harus pula dikerjakan oleh da’i. seorang da’i yang tidak beramal sesuai dengan
ucapannya ibarat pemanah tanpa busur. Hal ini bersumber pada QS. Al-shaff:2-3 yang artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Amat besar murka disisi
Allah, bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan”.
2. Tidak Melakukan Toleransi Agama
Tasamuh memang dinjurkan dalam islam,
tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama.
3. Tidak Menghina Sesembahan Non Muslim
Kede Etik ini berdasarkan QS. Al-an’am:108
“dan janganlah kamu memaki
sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
4. Tidak Melakukan Diskriminasi Sosial
Hal ini berdasarkan QS. Abasa:1-2 :
“Dia(Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta padanya”.
5. Tidak Memungut Imbalan
Dalam hal ini memang masih terjadi
perbedaan anatara boleh atau tidaknya memungut imbalan dalam berdakwah. Ada 3
kelompok yang berpendapat mengenai hal ini:
ü Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah
hukumnya haram secara mutlaq, baik dengan perjanjian sebelumya atau tidak.
ü Imam Malik bin anas, Imam Syafi’I, membolehkan memungut biaya atau
imbalan dalam menyebarkan islam baik dengan perjanjian sebelunya atau tidak.
ü Al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dan lainnya, mereka membolehkan
memungut biaya dalam berdakwah, tapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
6. Tidak Berteman Dengan Pelaku Maksiat
Berkawan dengan pelaku maksiat ini
dikhawatirkan akan berdampak buruk, karena orang yang bermaksiat itu
beranggapan seakan-akan perbuatan maksiatnya itu direstui dakwah, pada sisi
lain integritas seorang da’i tersebut akan berkurang.
7. Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara
ia tidak mengetahui hukum itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang dakwah
tidak boleh asal menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiri tanpa ada
dasar hukumnya.[5]
Hal ini berdasarkan QS. Al-Isra’:36
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.”
c. Hikmah Kode Etik Dakwah
Rambu-rambu etis dalam berdakwah atau yang
disebut dengan kode etik dakwah apabila diaplikasiakn dengan sungguh-sungguh
akan berdampak pada mad’u atau oleh sang da’i. pada mad’u akan memperoleh
simpati atau respon yang baik karena dengan menggunakan etika dakwah yang benar
akan tergambaar bahwa islam itu merupakan agama yang harmonis, cinta damai, dan
yang penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan masyarakat. Namun secara umum
hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu adalah:
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
Etika
berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap.
Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah
jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan. Beberapa etika dakwah yang
hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain : sopan, jujur dan tidak menghasut.
kode etik lazimnya merujuk pada
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mermuskan perilaku benar dan salah.
Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri dan pengertian kode
etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang juru dakwah.
Diantara kode etik dakwah adalah sebagai berikut: Tidak Memisahkan Antara
Ucapan Dan Perbuatan, Tidak Melakukan Toleransi Agama, tidak menghina
sesembahan non muslim, tidak melakukan diskriminasi sosial, tidak berteman
dengan pelaku maksiat, dan tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Adapun hikamah menerapakan kode etik dakwah
yaitu: kemajuan ruhani, sebagai penuntun kebaikan, membawa pada kesempurnaan
iman, dan kerukunan antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta:Kencana.
Munir Amin, Samsul. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta:Amzah.
Izin Copas ya kk🙏
BalasHapus