Blogger templates

Pages

Senin, 28 September 2015

pandangan filosofi muslim kontemporer

MAKALAH
PANDANGAN FILOSOF MUSLIM KONTEMPORER TENTANG HAKIKAT DAN TUJUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM
Ditulis Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filosof Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Ahmad Muzaki, M.Pd.I








Disusun Oleh :
Nama
:
Sefi Ruswaningsih (1286312)

Jurusan
:


Tarbiyah
Prodi/Semester/kelas
 PBA/IV/B




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO METRO LAMPUNG
2013/2014



KATA PENGANTAR


Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pandangan Filosof Muslim Kontemporer Tentang Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Islam”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Metro, Mei 2014



Penyusun





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
a.       Latar belakang Masalah......................................................................... 1
b.      Rumusan Masalah.................................................................................. 1
c.       Tujuan Makalah...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Al-Gazali........................................            
B.     Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Ibnu Khaldun.................................
C.     Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Zainudin Al-Labay.........................                        
D.    Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Ahmad Dahlan...............................
E.     Pendidikan Islam Dalam Pemikiran HAMKA...............................

BAB III PENUTUP
Kesimpulan....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada saat ini banyak sekali kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan islam terutama dalam kurikulum, tenaga pendidik dan medote yang digunakan. Tentunya hal ini tidak lepas dari sumbangan pemikiran para filosof muslim terdahulu khususnya filosof tanah air.
Di Indonesia banyak berkembang lembaga pendidikan islam yang dimana kurikulum yang diajarkan sebagian besar adalah ilmu-ilmu agama. Hal ini menjadi babak baru perkembangan pendidikan islam di Indonesia walaupun pada saat ini banyak lembaga pendidikan islam yang bukan hanya membahas ilmu agama tetapi juga ilmu umum.
Dalam makalah ini dijelaskan mengenai pemikiran para filosof muslim mengenai pendidikan islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran para filosof muslim di Indonesia ?
2.      Apa pengaruh pemikiran para filosof muslim terhadap pendidikan Islam pada saat ini?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui pemikiran para filosof muslim di Indonesia.
2.      Mengetahui pengaruh pemikiran para filosof terhadap pendidikan Islam saat ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI
1.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama Lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1059M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan, dan wafat di Tabaristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505H. Bertepatan tanggal 1 Desember 1111M.[1]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ian pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting didunia Islam. Dikota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam Haramain abi Al-Ma’ali al Juwainy, sorang ulama yang bermahzab Syafi’i yang pada saat itu menjdi guru besar di Nisyafur.

2.      Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali
a.      Peranan Pendidikan
Dalam masalah pendidikan, lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan yang mendidiknya.





b.      Tujuan pendidikan
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan mencari kedudukan yang menghasilkan uang.[2]
Rumusan tujuan pendidikan itu sejalan dengan firman Allah SWT tentang tujuan diciptakanny manusia:
وما خلقت الجنَ والإنس الاَ ليعبدون
tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. Al-Dzariyat:56)
     Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derjatnya lebih tinggi disisi Allah dan lebih luas kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat. Hal ini dipahami al-Ghazali berdasarkan pada isyarat Al-Qur’an:
وماالحياةالدنياإلآمتاع الغرور
“kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Q.S. al-Hadid:20)
c.       Pendidik
Menurut Al-Ghazali ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan yaitu:
ü Guru harus mencintai anak didiknya seperti mencintai anak kandungnya sendiri



ü Guru jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama dari pekerjaannya, karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi SAW sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
ü Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah
ü Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat
ü Guru harus memberikan contoh yang baik
ü Guru harus memahami minat dan bakat serta jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah mendidik juga akan terjalin hubungan yang akrab antara guru dan anak didiknya.
ü Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Jika tipe ideal yang dikehendaki al-Ghazali tersebut diatas dilihat dari persepektif guru sebagai profesi nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan aspek keahlian, profesi dan penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan materi yang harus dikuasai nampak kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti, karena paradigma yang digunakan untuk menentukan guru tersebut adalah paradigma tasawuf yang menempatkan guru sebagai figur sentral, idola bahkan mempunyai kekuatan spiritual, dimana murid sangat bergantung kepadanya. Hal ini mungkin kurang sejalan dengan pola dan pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini.  Guru pada masa sekarang lebih dilihat sebagai fasilitator, pemandu atau nara sumber yang mengarahkan proses belajar mengajar.
Guru yang ideal pada masa sekarang ini adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian sebagaimana dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan akademis serta profesional.
d.      Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal berikut:
Ø  Memuliakan guru dan bersikap rendah hati.
Ø  Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga tercipta rasa saling menyayangi serta saling tolong menolong.
Ø  Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan ilmu dan berupaya bersungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.
e.       Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada ilmu yang terlarang dan yang wajib dipelajari menjadi tiga kelompok yaitu:
*  Ilmu yang tercela, banyak ataupun sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun diakhirat. Contohnya ilmu nujum, sihir dan perdukunan.
*  Ilmu yang terpuji, seperti ilmu tauhid.
*  Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam karena ilmu ini dapat membawa pada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi ilmu itu menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
1.      Ilmu yang wajib diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab Allah.
2.      Ilmu yang hukum mempelajarinya farhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, astronomi, teknik dan lain sebaginya.

B.     PENDIDIKAN ISLAM PEMIKIRAN IBN KHALDUN
1.        Riwayat Singkat Hidup Ibnu Khaldun
               Sebuah ciri khas yang melatar belakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politisi, intelektual, dan aristokrat. Latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya, sebelum menyebrang ke Afrika, adalah para pemimpin pilitik di Moorish, Spanyol, selama beberapa abad. Dalam keluarga elit semacam inilah ia dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1332 di Tunisi. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdurrahman Abu Zayd ibn Muhammad Ibn Khaldun.

2.        Konsep Pendidikan Ibn Khaldun
a.      Pandangan Tentang Manusia Didik
Ibnu Khaldun memandang manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan oleh filosof, baik islam maupun luar islam. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiologi dan antropologi.
Ibnu Khaldun memandang manusia sebagai mahluk yang berbeda engan mahluk lainnya. Manusia adalah mahluk yang berfikir. Lewat pikirannya inilah manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan mahluk lainnya khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain selain memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itulah timbul ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran itu suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang yang telah dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu maka perlu diselenggarakan pendidikan.[3]

b.      Pandangan tentang ilmu
Ibnu Khaldun berepndapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Hal ini dapat dilihat pada negara Qairawan dan Cordova yang keduanya berperadaban andalus dan luas pula problematikanya atau heterogen.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, ibnu khaldun membaginya menjadi tiga macam yaitu:
1.      Ilmu lisan (bahasa)
2.      Ilmu Naqli yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Rasul SAW.
3.      Ilmu ‘aqli.
Diantara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik yaitu:
1.      Ilmu syari’ah dan segala jenisnya.
2.      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3.      Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan lain sebaginya.
4.      Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa al-Qur’an adalah ilmu pertama yang harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan al-qur’an kepada anak termasuk syari’at islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara islam.

c.       Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Khaldun bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Pertama-tama ia harus diberikan pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang akan dipelajarinya. Keterangan-keterangan yang diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan fikirn pelajar dan kesanggupannya memahami apa yang akan diberikan kepadanya. Apabila dengan jalan itu seluruh pembhasan pokok telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Sedangkan hasil keseluruhannya dengan segala seluk beluknya. Untuk itu jika pembahasan yang pokok itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulanginya kembali hingga dikuasai benar.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang guru harus menguasai ilmu jiwa anak, harus bersikap sopan dan haus kepada muridnya.
C.    PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ZAINUDIN LABAY
1.      Riwayat hidup Zainudin Labay
Zainuddin Labay el-Yunusi, lahir di sebuah “rumah gadang” (rumah adat lima ruang) yang terletak di jalan menuju Lubuk Mata Kucing Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Ia lahir dari pasangan Syeikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah. Ayahnya Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah adalah seorang ulama terkenal dan memegang jabatan sebagai qadhi di daerah Pandai Sikek.
Kakeknya bernama Imaduddin, juga seorang ulama terkenal, pemimpin aliran tarikat Naqsyabandiyah dan ahli ilmu falak (hisab) di daerahnya. Bila ditelusuri lebih jauh silsilah keturunannya dari pihak ayah, maka akan diperoleh suatu gambaran bahwa ia mempunyai hubungan pertalian darah dengan Haji Miskin salah seorang tokoh “harimau nan salapan” dalam gerakan Paderi. Ibunya bernama Rafi’ah, juga seorang wanita yang taat beragama. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal pada sekolah tertentu, karena waktu itu jenjang pendidikan formal masih tertutup bagi anak perempuan, khusunya di Minangkabau. Akan tetapi ia bisa membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab. Ada kemungkinan ini berkat bimbingan kakaknya Kudi Urai, yang sangat menyangi dan memanjakannya. Silsilah keturunan Zainuddin Labay dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat Candung Agam.

2.      Pemikiran Zainudin Labay Dalam Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, Labay termasuk orang yang mula-mula memperkenalkan sistem sekolah yang baru. Dengan membuka sekolah guru Diniyah (1915), ia mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur yang mencakup juga pengetahuan umum, seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi, disamping pelajaran agama.
Selanjutnya pada tahun 1916 ketika ia menjadi murid dan membantu mengajar H. Abdul Karim Abdullah di Jembatan Besi, Zainudin mendirikan Madrasah Diniyah, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab sebelum membaca Al-Qur’an, disamping pendidikan agama, diberikan pula pendidikan umum terutama sejarah dan ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi mata pelajaran tersebut menggunkan buku berbahasa Arab, dengan begitu mata pelajaran ini lebih bersifat ekstra Arab daripada ilmu bumi atau sejarah.
Bahasa yang digunakan Zainudin Labay dalam mengajar yaitu menggunakan bahasa Arab, dan untuk mata pelajaran ini dia tidak memakai buku kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak yang begitu rumit,tetapi memakai buku yang sederhana seperti yang biasa digunakan disekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran lainnya, terutam fiqih dan sejarah Islam yang dahulu tidak begitu diperhatikan, Zainudin menyusunnya dalam bahasa Melayu sedang untuk kelas yang lebih tinggi dalam bahasa Arab yang sederhana. Untuk kelas yang tertinggi, dia selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di Kairo maupun Beiruit.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Zainudin Labay telah menunjukkan otodidaknya menjadi seorang pembaharu dalam bidang pendidikan,  ia berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab, ia telah memperkenalkan model pendidikan yang masa itu belum lazim digunakan, yaitu model klasikal, ia telah memperkenalkan pengetahuan modern kedalam kurikulum pendidikan Islam, dan usaha-usaha yang dilakukan Zainudin telah menghasilan kader-kader yang tangguh dalam bidang ilmu agama.[4]

D.    PENDIDIKAN ISLA DALAM PEMIKIRAN KH AHMAD DAHLAN
1.    Riwayat Hidup Singkat KH Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M ). Kyai Haji Abu Bakar adalah khatib di Majid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya Siti Aminah adalah penghulu besar di Yogyakarta.
 Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. Ayahnya KH Abu Bakar adalah Khotib Masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pesantren. Sudah sejak kanak-kanak diberikan pelajaran  dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan naluri melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya dan iparnya. Ia di didik sendiri melalui cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.

2.      Pemikiran Pendidikan
KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang tidak banyak meninggalkan tulisan, beliau lebih menampilkan sosoknya sebagai manusia amal atau praktisi dari pada filosuf yang banyak melahirkan gagasan-gagasan tetapi sedikit amal, sekalipun demikian tidak berarti beliau tidak memiliki pemikiran. Sebagai wujud kongkrit yang dicetuskan beliau yaitu Muhammadiyah yang sampai sekarang masih eksis.
Istilah pendidikan disini dipergunakan dalam konteks yang luas tidak hanya terbatas pada sekolah formal tetapi mencakup semua usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari generasi terdahulu kepada generasi muda, dalam konteks ini termasuk dalam pengertian pendidikan adalah kegiatan pengajian, tabligh dan sejenisnya.
Adapun tujuan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu membentuk manusia yang:
1.      Alim dalam ilmu agama.
2.      Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum;
3.      Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keagamaan pada masyarakat.
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi beliau keduanya tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pada tahun 1912, beliau mengadakan acara Sidratul Muntaha, sebuah pelajaran mengaji dan berdakwah dalam rangka merintis pergerakan Muhammadiyah di sebuah langgar di Kauman bagian selatan. Pada tahap berikutnya, beliau mendirikan sebuah sekolah lanjutan yang berdiri pada tahun 1919 bernama Hooge School Muhammadiyah dan kemudian diganti menjadi Kweek School pada tahun 1923. Pada tahun 1930, sekolah ini dipecah menjadi dua, untuk laki-laki (Mu’allimin) dan perempuan (Mu’allimat)
Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Isam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.
Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat penting, tidak hanya sekadar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan tujuan. Di dalam pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya. Perlu diketahui bahwa tujuan Muhammadiyah dalam lapangan pendidikan yaitu membentuk manusia yang muslim yang cakap, berakhlak mulia, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Jadi tidak hanya bertujuan membentuk manusia intelektual saja, tetapi juga manusia muslim, manusia moralis, dan manusia yang berwatak.


E.      PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN HAMKA
1.      Riwayat Hidup HAMKA
Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dilahirkan di Sungai Batang Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326H). Ayahnya ialah ulama Islam terkenal, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias haji Rasul, pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau.
Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-Qur’an dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 – 1923, dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
2.      Pemikiran Pendidikan
Perhatian HAMKA pada dunia pendidikan diawali dengan mengingatkan pentingnya membangun pendidikan yang melahirkan jiwa-jiwa yang memiliki tanggung jawab batin (tanggung jawab budi). Memasukkan nilai ini hendaknya dengan bahasa yang dapat langsung dicerna dan difahami oleh pendengarnya, dengan terlebih dahulu membersihkan jiwanya. “Diulang-ulangnya pesan ini disampaikan, akan menanamkan perasaan kepada setiap pribadi muslim untuk tidak menunda-nunda dalam berbuat sebuah kebaikan.[5] Di samping itu, pendidikan juga harus mampu melahirkan pribadi-pribadi yang berani berbicara benar dan memperjuangkan kebenaran itu sendiri meski beragam resiko menghadangnya.
HAMKA berpendapat bahwa dunia “pendidikan harus mampu menjembatani pemuda-pemuda Islam dengan sejarah negaranya yang benar, karena sejarah yang benar akan menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi generasi setelahnya. Pendidikan juga harus mampu menghubungkan pelajarnya dengan sumber utama rujukannya yakni Kitab Suci Al-Qur’an, karena memutuskan orang Islam dari Al-Qur’an, maka berarti menghilangkan umat Islam di wilayah tersebut, sembari mengutip pendapat Kyai H.A. Dahlan ketika mulai menggerakkan Muhammadiyah pada sekitar tahun 1912, “Islam tidak akan hilang dari dunia ini, tetapi mungkin saja hilang dari Indonesia.”
Dalam hal pendidikan, seorang HAMKA meyakini bahwa hal terbesar yang perlu diperhatikan adalah memilih guru yang tepat. Dia mengatakan, “Dalam menuntut ilmu cara yang terbaik ialah pada seorang guru yang banyak pengalaman, luas pengetahuan, bijaksana dan pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran, tidak lekas bosan lantaran pelajaran itu tidak lekas dimengerti oleh murid.”
Begitupun sebaliknya, seorang murid harus menjaga adabnya di dalam pendidikan agar ia terhindar dari marabahaya, sebagaimana nasihatnya,
“Hendaklah si murid rindu dan cinta pada ilmu, percaya pada keutamaannya dan yakin pada manfaatnya. Hendaklah yang menimbulkan keinginanannya menuntut ilmu itu keridhaan Allah SWT. Sebab dengan ilmu yang luas itulah dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti. Bukanlah ilmu sekedar untuk pencari makan dan pencari gaji. Jangan menuntut ilmu karena hendak riya. Orang yang riya itu sebenarnya tidaklah menjadi besar, tetapi orang terhina. Pengambil muka tidaklah terhormat tetapi tersisih. Di mukanya orang menganggukkan kepala, di belakangnya orang mencibir[6]




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derjatnya lebih tinggi disisi Allah dan lebih luas kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat.
Ibnu Khaldun memandang manusia sebagai mahluk yang berbeda engan mahluk lainnya. Manusia adalah mahluk yang berfikir. Lewat pikirannya inilah manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Zainudin Labay telah menunjukkan otodidaknya menjadi seorang pembaharu dalam bidang pendidikan,  ia berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab, ia telah memperkenalkan model pendidikan yang masa itu belum lazim digunakan, yaitu model klasikal, ia telah memperkenalkan pengetahuan modern kedalam kurikulum pendidikan Islam, dan usaha-usaha yang dilakukan Zainudin telah menghasilan kader-kader yang tangguh dalam bidang ilmu agama.
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi beliau keduanya tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
HAMKA berpendapat bahwa dunia “pendidikan harus mampu menjembatani pemuda-pemuda Islam dengan sejarah negaranya yang benar, karena sejarah yang benar akan menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi generasi setelahnya.

DAFTAR PUSTAKA

HAMKA, 2001. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas.
HAMKA. 2002. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Gaya Media Pratama.










[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005, hal. 209.
[2] Ibid, hal. 211-212.
[3] Ibid, hal.224.
[4]Ibid, hal.238-240.
[5] HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, hal. 122-123.
[6] HAMKA, Lembaga Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, hlm. 247.

0 komentar:

Posting Komentar