MAKALAH
BILINGUALISME
DAN MULTILINGUALISME SERTA RELEVANSINYA DENGAN DIGLOSIA
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pembimbing :Ika Selviana, MA.Hum
Dosen Pembimbing :Ika Selviana, MA.Hum

Disusun
Oleh :
Nama : Sefi
Ruswaningsih (1286312)
Fathurrahmad Fuad (1285692)
Jurusan :
Tarbiyah
Prodi :
PBA
Kelas / Semester : V / B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO METRO
LAMPUNG
2014/2015
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini disusun untuk diajukan
sebagai tugas mata kuliah Sosiolinguistik dengan judul “
Bilingualisme Dan Multilingualisme dan Relevansinya terhadap Diglosia”.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
.
Metro, September 2014
Metro, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. ...... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. ....... 1
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
1.
Bilingualisme........................................................................................ ....... 2
2.
Multilingual.................................................................................................. 2
3.
Diglosia........................................................................................................ 4
4.
Hubungan Bilingual dan Diglosia................................................................ 6
BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 8
Kesimpulan ............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh
oleh masyarakat tutur lain, baik karena letaknya terpencil atau sengaja apatis
dengan lingkungan, maka
masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang monolingual dan statis.
Sebaliknya, masyarakat yang mampu berbaur dengan masyarakat lain dengan
beraneka ragam bahasa maka masyarakat tersebut kemungkinan besar akan menjadi
masyarakat yang bilingual. Dalam bahasan makalah ini akan menjelaskan tentang
pengertian bilingual dan hal- hal yang berhubungan dengannya, yaitu diglossia
serta perbedaan bilingual
dan multilingual.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan bilingualisme dan
multilingualisme?
2.
Apa yang dimaksud dengan diglosia?
3.
bagaimana relevansi antara bilingualisme,
multilingualisme dengan diglosia?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami tentang:
1.
Pengertian Bilingualisme
dan Multilingualisme.
2.
Pengertian
Diglossia.
3.
Hubungan Antara
Bilingualisme dan Diglossia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Bilingualisme
Istilah bilingualisme
(Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Dari hasil istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud
dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualism diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya ( disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua
bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan).
Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas
(dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan
digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian.[1]
2. Multilingual
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa
bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut
membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat
majemuk (plural society).[2]
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi
bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak
factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia
pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran
serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita
melihat setidak–tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan,federasi
dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
Ø Migrasi
Migrasi atau
perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi
menjadi 2 jenis. Jenis
pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain
yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika
sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control
nasional lainnya.
Ø
Penjajahan
Dalam proses penjajahan kontrol itu dipegang oleh sejumlah
orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu.
Ø
Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai
etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
Ø Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula
keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa
jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi
warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan
perang. Bangsa yang kalah dipaksa
untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. [3]
3.
Diglosia
Kata diglosia berasal dari
bahasa Prancis diglosia, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang
linguis Prancis: tetapi istilah itu manjadi terkenal dalam studi linguistic
stetelah digunakan oleh seseorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.
Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa bahasa
standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di
Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah
tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam
majalah World tahun 1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes
(ed.) Language in Culture and Society dan dalam Giglioli (ed.) Language
and Social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang
sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold
(1984) ada membicarakannya juga.
Ferguson mengguanakan istilah diglosia
untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari
satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut:
Diglosia
is a relatively stable language situation, in which in addition to the primary
dialects of the language, which may include a standard or regional standard,
there is a very divergent, highly codified, often grammatically more complex,
superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written
literature, either of an earlier period or in an other speech community, which
is learned largely by formal education and is used for most written and formal
spoken purposes but is not used by any sector of the community fot ordinary
conversation.
Bisa disimak,
definisi Ferguson itu memberi pengertian:
1.
Diglosia
adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa,
terdapat juga sebuah ragam lain.
2.
Dialek-dialek
utama itu, di anataranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah
standar regional.
3.
Ragam
lain ( yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri
-
Sudah
(sangat) terkodifikasi
-
Gramatikalnya
lebih kompleks
-
Merupakan
wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
-
Dipelajari
melalui pendidikan formal
-
Digunakan
terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-
Tidak
digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari)
Ferguson
membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur
dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur
bahasa Arab, Yunani Modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini
dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan Sembilan topic, yaitu fungsi,
prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon,
dan fonologi.[4]
Penggunaan
bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama atau bahasa ibu,
sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa
kedua oleh seorang dwibahasan. Pemakaian yang berganti-ganti dari bahasa
pertama ke bahasa kedua atau sebaliknya merupakan diglosia. Pengertian
diglosia dikatakan sama dengan kedwibahasaan, tetapi isitilah diglosia
lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, di mana
terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam, di sisi lain, istilah
kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian bahasa itu.[5]
Diglosia juga dapat diartikan situasi pemakaian bahasa yang
stabil karena setiap bahasa diberi keleluasaan untuk menjalankan fungsi
kemasyarakatannya secara proporsional. Situai kebahasaan ini, berlangsung
sampai berabad-abad. Orang orang yang hidup di masyarakat diglosia biasanya
tidak memandang diglosia sebagai suatu masalah.[6]
4.
Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Fishman megatakan bahwa
ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
a.
Diglossia dan Bilingualisme
Situasi seperti
ini jarang ada tapi mungkin terjadinya. Pada
situasi ini, masyarakat
berkomunikasi dengan lebih dari satu kode yang diakui secara nasional. Selain
terdapat perbedaan fungsi- fungsi antar kode, juga terdapat kesepakatan bahwa
satu kode yang lain mempunyai nilai yang tinggi daripada yang lain. Misalnya
dalam bahasa masyarakat Puruguay. Dalam bahasa Guarani dianggap bahasa L
yaitu bahasa status, sedangkan bahasa Spanyol merupakan bahasa H yaitu bahasa
non status. Contoh lain adalah di Negara Arab yang terdapat Bahasa Arab pasaran
dan Bahasa Arab klassik.
b.
Diglossia Tanpa Bilingualisme
Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang relatif umum
sebab keanggotaan suatu kelompok diperoleh dari hal baru atau kelahiran yang
tidak mudah hilang. Masalah yang paling bahaya dalam kondisi seperti ini adalah
masyarakat elite lebih memilih untuk mengisolir diri dari populasi yang lain
yang diajak berkomunikasi, artinya kita harus menggunakan bahasa yang berstatus
tinggi jika ingin berkomunikasi dengan mereka. Sehingga,
masyarakat elit lebih memilih tidak berkomunikasi dengan masyarakat yang
menggunakan bahasa setempat.
c.
Bilingualisme
Tanpa Diglossia
Hal ini
dicontohkan pada masyarakat Belgia, terutama bagi mereka yang tinggal di
perbatasan belanda dan Perancis. Secara tidak langsung mereka akan menggunakan
bahasa Belanda dan perancis secara bersamaan dalam kehidupan sehari- harinya
dan kedua bahasa tersebut juga termasuk dalam Bahasa Resmi Nasional, sebab
tidak ada kesepakatan mana yang termasuk bahasa utama dan bahasa kedua.
d.
Tidak
Bilingualisme dan tidak Diglossia
Masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak
diglosia hanya mempunyai satu bahasa tanpa variasi serta dapat digunakan segala
tujuan. Keadaan seperti ini hanya ada pada satu masyarakat yang primitif dan
sangat sulit ditemukan. Masyarakat ini akan mencair apabila mereka telah bersentuhan dengan masyarakat lain. Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di
atas maka hanya ada dua yang stabil yaitu diglossia dan bilingualisme dan
diglossia tanpa bilingualisme.Keduanya berkarakter diglossia, sehingga perbedaannya
adalah terletak pada bilingualismenya.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Istilah
bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan. Dari hasil istilahnya secara harfiah sudah
dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan
dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik,
secara umum, bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa
bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk
masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk
(plural society),
Ferguson
mengguanakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan
masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Fishman megatakan bahwa
ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
1.
Diglossia dan Bilingualisme
2.
Diglossia Tanpa Bilingualisme
3.
Bilingualisme
Tanpa Diglossia
4.
Tidak
Bilingualisme dan tidak Diglossia
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda
dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar
Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama.
Chaer,
Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Paulston and Tucker.2003. Sociolinguistic
the Essential Readings. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Sumarsono
dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad
Rohmadi. 2010. Sosiolingustik Kajian Teori Dan Analisis.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
![]() |
[1] Abdul chaer dan Leoni Agustina,Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2004),
hal 84-85.
[2]
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik,
(Yogyakarta:Sabda, 2002), hal.76.
[3] Paulston
and Tucker. Sociolinguistic the Essential Readings. (USA: Blackwell Publishing
Ltd, 2003), hal. 87.
[5] Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung:
Refika Adi Tama
2007), hal. 26.
[6] I Putu Dewa
Wijana dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik Kajian Teori Analisis, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2010), hal.34
[7]
Abdul Chaer dan Leoni Agustina, Opcit.
Hal. 102-104.

0 komentar:
Posting Komentar