Blogger templates

Pages

Senin, 28 September 2015

bilingual, multilingual dan relevansinya terhadap diglosia

MAKALAH
BILINGUALISME DAN MULTILINGUALISME SERTA RELEVANSINYA DENGAN DIGLOSIA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pembimbing
:Ika Selviana, MA.Hum
Description: STAIN Colour.jpg








Disusun Oleh :
Nama                          : Sefi Ruswaningsih              (1286312)
                                      Fathurrahmad Fuad           (1285692)
Jurusan                      : Tarbiyah
Prodi                           : PBA
Kelas / Semester        : V / B



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO METRO LAMPUNG
2014/2015
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa  yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya  sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai  tugas mata kuliah Sosiolinguistik dengan judul “ Bilingualisme Dan Multilingualisme dan Relevansinya terhadap Diglosia”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

.

Metro,     September  2014
Penulis


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. ...... iii

BAB I   PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.  Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................. ....... 1
C.  Tujuan  Penelitian ........................................................................................ 1           
BAB II  PEMBAHASAN...................................................................................... 2
1.      Bilingualisme........................................................................................ ....... 2
2.      Multilingual.................................................................................................. 2
3.      Diglosia........................................................................................................ 4
4.      Hubungan Bilingual dan Diglosia................................................................ 6
BAB III  KESIMPULAN...................................................................................... 8
Kesimpulan ............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, baik karena letaknya terpencil atau sengaja apatis dengan lingkungan, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang monolingual dan statis. Sebaliknya, masyarakat yang mampu berbaur dengan masyarakat lain dengan beraneka ragam bahasa maka masyarakat tersebut kemungkinan besar akan menjadi masyarakat yang bilingual. Dalam bahasan makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian bilingual dan hal- hal yang berhubungan dengannya, yaitu diglossia serta perbedaan bilingual dan multilingual.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan bilingualisme dan multilingualisme?
2.      Apa yang dimaksud dengan diglosia?
3.      bagaimana relevansi antara bilingualisme, multilingualisme dengan diglosia?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami tentang:
1.      Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme.
2.      Pengertian Diglossia.
3.      Hubungan Antara Bilingualisme dan Diglossia.



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Bilingualisme
            Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari hasil istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya ( disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.[1]
2.      Multilingual
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society).[2]
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa.
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita melihat setidak–tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan,federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
Ø  Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
Ø  Penjajahan
Dalam proses penjajahan kontrol itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu.
Ø  Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
Ø  Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa  yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. [3]




3.      Diglosia
            Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglosia, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu manjadi terkenal dalam studi linguistic stetelah digunakan oleh seseorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam majalah World tahun 1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed.) Language in Culture and Society dan dalam Giglioli (ed.) Language and Social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga.
            Ferguson mengguanakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to the primary dialects of the language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent, highly codified, often grammatically more complex, superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written literature, either of an earlier period or in an other speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community fot ordinary conversation.
Bisa disimak, definisi Ferguson itu memberi pengertian:
1.      Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2.      Dialek-dialek utama itu, di anataranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3.      Ragam lain ( yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri
-        Sudah (sangat) terkodifikasi
-        Gramatikalnya lebih kompleks
-        Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
-        Dipelajari melalui pendidikan formal
-        Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-        Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari)
Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur bahasa Arab, Yunani Modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan Sembilan topic, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.[4]
Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama atau bahasa ibu, sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua oleh seorang dwibahasan. Pemakaian yang berganti-ganti dari bahasa pertama ke bahasa kedua atau sebaliknya merupakan diglosia. Pengertian diglosia dikatakan sama dengan kedwibahasaan, tetapi isitilah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam, di sisi lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian bahasa itu.[5]
Diglosia juga dapat diartikan situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proporsional. Situai kebahasaan ini, berlangsung sampai berabad-abad. Orang orang yang hidup di masyarakat diglosia biasanya tidak memandang diglosia sebagai suatu masalah.[6]

4.      Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Fishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
a.       Diglossia dan Bilingualisme
Situasi seperti ini jarang ada tapi mungkin terjadinya. Pada situasi ini, masyarakat berkomunikasi dengan lebih dari satu kode yang diakui secara nasional. Selain terdapat perbedaan fungsi- fungsi antar kode, juga terdapat kesepakatan bahwa satu kode yang lain mempunyai nilai yang tinggi daripada yang lain. Misalnya dalam bahasa masyarakat Puruguay. Dalam bahasa Guarani dianggap  bahasa L yaitu bahasa status, sedangkan bahasa Spanyol merupakan bahasa H yaitu bahasa non status. Contoh lain adalah di Negara Arab yang terdapat Bahasa Arab pasaran dan Bahasa Arab klassik.
b.      Diglossia Tanpa Bilingualisme
Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang relatif umum sebab keanggotaan suatu kelompok diperoleh dari hal baru atau kelahiran yang tidak mudah hilang. Masalah yang paling bahaya dalam kondisi seperti ini adalah masyarakat elite lebih memilih untuk mengisolir diri dari populasi yang lain yang diajak berkomunikasi, artinya kita harus menggunakan bahasa yang berstatus tinggi jika ingin berkomunikasi dengan mereka. Sehingga, masyarakat elit lebih memilih tidak berkomunikasi dengan masyarakat yang menggunakan bahasa setempat.

c.       Bilingualisme Tanpa Diglossia
Hal ini dicontohkan pada masyarakat Belgia, terutama bagi mereka yang tinggal di perbatasan belanda dan Perancis. Secara tidak langsung mereka akan menggunakan bahasa Belanda dan perancis secara bersamaan dalam kehidupan sehari- harinya dan kedua bahasa tersebut juga termasuk dalam Bahasa Resmi Nasional, sebab tidak ada kesepakatan mana yang termasuk bahasa utama dan bahasa kedua.
d.      Tidak Bilingualisme dan tidak Diglossia
Masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak diglosia hanya mempunyai satu bahasa tanpa variasi serta dapat digunakan segala tujuan. Keadaan seperti ini hanya ada pada satu masyarakat yang primitif dan sangat sulit ditemukan. Masyarakat ini akan mencair apabila mereka telah bersentuhan dengan masyarakat lain. Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas maka hanya ada dua yang stabil yaitu diglossia dan bilingualisme dan diglossia tanpa bilingualisme.Keduanya berkarakter diglossia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.[7]







BAB III
KESIMPULAN
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari hasil istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society),
Ferguson mengguanakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Fishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
1.      Diglossia dan Bilingualisme
2.      Diglossia Tanpa Bilingualisme
3.      Bilingualisme Tanpa Diglossia
4.      Tidak Bilingualisme dan tidak Diglossia






DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Paulston and Tucker.2003. Sociolinguistic the Essential Readings. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Sosiolingustik Kajian Teori Dan Analisis.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

 




[1] Abdul chaer dan Leoni Agustina,Sosiolinguistik Perkenalan Awal,  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal 84-85.
[2] Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta:Sabda, 2002), hal.76.
[3] Paulston and Tucker. Sociolinguistic the Essential Readings. (USA: Blackwell Publishing Ltd, 2003), hal. 87.
[4] Abdul Chaer dan Leoni Agustina, opcit,  hal. 92-93.
[5] Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Adi Tama 2007), hal. 26.
[6] I Putu Dewa Wijana dan  Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik Kajian Teori Analisis, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hal.34
[7] Abdul Chaer dan Leoni Agustina, Opcit. Hal. 102-104.

0 komentar:

Posting Komentar