Blogger templates

Pages

Senin, 28 September 2015

masa keemasan pendidkan islam



MAKALAH
POTRET KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYYAH
Ditulis Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Sri Andri Astuti, M. Ag






Disusun Oleh :
Nama
:
Sefi Ruswaningsih   (1286312)
Siti Nur Halimah
Eri Ulfiana Zain

Jurusan
:      

      

Prodi
:
P B A








SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
JURAI SIWO METRO LAMPUNG
 2013/2014



KATA PENGANTAR


Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Potret Kejayaan Pendidikan Islam Masa Bani Abbasiyah”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.







Metro, April 2014

Penyusun


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
a.       Latar belakang Masalah
b.      Rumusan Masalah
c.       Tujuan Makalah

BAB II PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
B.     Tingkat-Tingkat Pengajaran Pada Masa Abbasiyah
C.     Lembaga-Lembaga Pendidikan Pada masa Abbasiyah
D.    Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
E.     Kurikulum Pada Masa Abbasiyah

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di dunia. Selama pemerintahan bani Abbasyiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut.
Pendidikan Islam yang sangat berkembang pada masa Bani Abbasyiyah yaitu pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, pendidikan Islam sangat berkembang pesat sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus dikembangkan, misalnya dalam ilmu umum diantaranya bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Juga dalam ilmu agama diantaranya tafsir, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan membahas mengenai kemajuan-kemajuan pendidikan yang dicapai pada masa pemerintahan bani Abbasiyah.
B.  Rumusan masalah
1.              Apa saja lembaga-lembaga yang ada pada masa bani Abbasiyah?
2.              Apa saja metode yang diterapkan dan materi yang digunakan  dalam pendidikan pada masa Abasiyah?
3.              Bagaimana kurikulum pendidikan yang diterapkan pada masa bani Abbasiyah ?

C.   Tujuan
1.      Mengetahui lembaga-lembaga yang ada pada masa bani Abbasiyah.
2.      Mengetahui metode dan materi pendidikan yang ada pada masa Abbasiyah.
3.      Mengetahui kurikulum pendidikan yang terapkan pada masa bani Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.          Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.[1]

B.            Tingkat-Tingkat Pengajaran Pada Masa Abbasiyah
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[2]
2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik.
3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun   menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[3]
C. Lembaga-Lembaga Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan keberadaannya, baik melalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia yang pernah dikuasai Islam, seperti Irak, Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin terjadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan tersebut. adapun gambaran keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut.
Selain masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan al-bimaristan, pada zaman Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga pendidikan, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a.      Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya indistri perbukuan, dan industry perbukuan mendorong lahirnya toko-toko buku. Di beberapa kota atau negara yang di dalamnya terdapat toko-toko buku, menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut  telah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.


b.      Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina. Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia berkumpul di rumah Ibn Sina untuk menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain ada yang membaca kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan dia menggunakan rumahnya untuk para ulama senior untuk memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam al-Ghazali (504 H) yang menerima para siswa di rumahnya, setelah ia berhenti sebagai guru di Madrasah al-Nidzamiyah di Nisafur, serta menuntaskan pejalanan spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di masjid al-Amawiy di Damaskus serta menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Demikian pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy Ahmad bin Muhammad  Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai tempat untuk kegiatan ilmiah.
c.       Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)
Sanggar sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian berkembang pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di sanggar sastra ini terdapat ketentuan kode etik yang khusus. Dalam hubungan ini Ibn Abd Rabbih, al-Muqri dan al-Maqrizi berkata berkata, bahwa sanggar sastra tidak bisa menerima setiap orang yang menginginkannya, melainkan sanggar tersebut hanya dibolehkan untuk kelompok orang tertentu.
d.      Madrasah
Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Dalam kaitan ini, Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat masyarakat untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di masjid makin meningkat dari tahun ke tahun, dan menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan siswa yang berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu, berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan semakin berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg banyak, peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan dengan tujuan untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan ideology tertentu.
e.       Perpustakaan dan Observatorium
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti luas, yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil bekerja (learning be doing), dan  penemuan (inquiri). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
f.        Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajran bagi calon sufi. Di dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf, misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru utama), mu’id (asisten guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-ribath dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.[4]
D.    Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1.       Metode Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla’ ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
2.      Metode ceramah
Metode ceramah disebut juga metode as-sama’, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya.Metode qiro’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
3.      Metode Menghafal
Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru.
4.      Metode Tulisan
Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan  ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[5]


E.            Kurikulum Pada Masa Abbasiyah
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan mata pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dengan sifat dan tingkatannya. Kurikulum pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.      Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber dari syariat (Al-Qur’an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya bukan dari syariat. Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya: 1) ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak , baik sedikit maupun banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki sifat manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. 2) ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak. Seperti ilmu agama dan ilmu tentang peribadatan. 3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu, terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya dengan nilai gunanya, ilmu pengetahuan dapat digolongkan: 1) ilmu fardhu ‘ain yang wajib dipelajari setiap individu, seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya. 2) ilmu fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap muslim, melainkan cukup jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya. Dan jika seorang pun di antara kaum muslim tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka akan berdosa. Di antara yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.[6]
2.      Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam.
a.      Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b.      Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
c.       Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Tingkat-Tingkat Pengajaran pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1.      Tingkat sekolah rendah,
2.      Tingkat sekolah menengah,
3.      Tingkat perguruan tinggi.
Lembaga-Lembaga Pendidikan pada masa Abbasiyah:
1.      Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien),
2.      Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama),
3.      Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah),
4.      Madrasah,
5.      Perpustakaan dan Observatorium,
6.      Al-Ribath.
Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah:
1.      Metode Lisan,
2.      Metode ceramah ,
3.      Metode Tulisan.
kurikulum pada masa Abbasiyah:
1.      Kurikulum Menurut Al-Ghazali,
2.      Kurikulum Menurut Ibn Khaldun.
.






















DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Suwito. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
http://ratih-nurafriani.blogspot.com/2012/03/pendidikan-islam-pada-masa-bani.html








[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), hal. 54.
[3] Musyrifah Sunanto,  Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004) , 57-83.
[4]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2011 ), hal 162.
[5]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta. Kencana, 2008) hal. 14.
[6] Abudin Nata, Op.cit, hal. 163.

0 komentar:

Posting Komentar